Majalah Khittah Headline Animator

Minggu, 05 Agustus 2007

Protestan

MERASA agak kurang sehat, Kiai Sodrun pamit tidak bisa ikut acara kunjungan kerja bersama teman-temannya. Ia memilih berada di kantor sendirian. Tetapi sial. Tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, beberapa orang mendatangi kantor dewan untuk menyampaikab protes atas kebijakan pemerintah daerah yang mereka nilai tidak adil. Mau tidak mau, ia harus menemui mereka.
Setelah menyampaikan berbagai keluhan panjang lebar, seorang juru bicara mereka mengatakan:
“Pokoknya kami memprotes kebijakan yang tidak adil ini. Kami memprotes peraturan yang sewenang-wenang ini. Dan kami juga memprotes sikap arogansi ini”.
Setelah mendengarkan panjang lebar apa yang disampaikan mereka, tiba giliran Kiai Sodrun memberikan tanggapan:
“ Baiklah, untuk sementara kami tampung aspirasi ini guna ditindak lanjuti. Sekarang, bapak-bapak protestan boleh pulang”.
Tiba-tiba salah satu pengunjuk rasa itu berdiri sambil mengacungkan tangan dan berkata:” Bapak jangan asal ngomong ! Kami semua ini orang muslim, bukan orang Protestan”.
“Saya tahu itu,” jawa Kiai Sodrun. “Tetapi kedatangan bapak-bapak ini kan untuk menyampaikan protes ? Jadi saya sebut saja bapak-bapak ini para protestan”.

Tak Bisa Mematikan Handphone

KOMISI A sedang melakukan rapat dengar pendapat dengan sebuah instansi. Begitu pemimpin selesai membuka rapat, Kiai Sodrun angkat tangan:
“Demi kelancaran jalannya rapat ini dan tidak ada yang terganggu, saya usul supaya semua mematikan hand phonenya,” katanya dengan tegas.
Usul kiai Sodrun disetujui. Beberapa menit kemudian, ia tersentak sadar kalau ia juga membawa hand phone yang baru ia beli seminggu yang lalu. Ia bingung karena belum tahu bagaimana cara mematikannya. Ia khawatir ada yang mengontaknya. Benar. Tiba-tiba hand phonenya memang berbunyi. Karuan saja semua peserta rapat kaget. Mereka menatap wajah Kiai Sodrun. Wajahnya nampak pucat pasi.
“Bukankah tadi saudara sendiri yang usul untuk mematikan semua hand phone !” kata pimpinan rapat dengan marah.
“Benar. Tapi maksud saya , kecuali bagi yang belum tahu bagaimana cara mematikannya”, jawa Kiai Sodrun.
Ia lalu minta izin keluar sebentar. Dan setelah menyimpan hand phonenya di ruang kerja, ia kembali lagi ke ruang rapat.

Jangan Pedulikan Omongan Orang


Juha dan anaknya, dua orang yang selalu berlawanan dalam perilaku mereka. Setiap kali Juha memerintah anaknya melakukan sesuatu, namun anaknya selalu menentang perintah itu.



Malah, anaknya selalu berkata: “Apa kata orang tentang kita bila mereka mengetahui hal itu ?”. Suatu ketika, Juha ingin memberi pelajaran kepada anaknya, suatu pelajaran yang berguna dan membuatnya berhenti menuruti omongan orang lain. Karena dengan menuruti semua omongan orang lain, semua tujuan tidak akan tercapai.
Juha lalu menaiki seekor keledai dan menyuruhanaknya berhenti di belakang. Belum lama melangkah, mereka berdua bertemu dengan beberapa wanita. Para wanita itu berteriak pada Juha, “ Bagaimana kamu ini wahai lelaki, tidak adakah di dalam hatimu rasa anaknya naik keledai itu.
Mereka kemudian melewati sekelompok orang tua yang sedang duduk di bawah terik matahari. Salah satu dari mereka menepukkan kedua telapak tangannya dan menarik perhatian orang lain untuk melihat laki-laki tolol yang berjalan dan membiarkan anaknya naik keledai. Orang-orang itu mengomentari mereka, “ Maumaunya kamu berjalan dan kamu biarkan hewan ini untukmu, lalu kamu berharap bisa mengajarinya malu dan sopan santun ?”. Juha berkata pada anaknya.” Bukankah engkau mendengarkan ucapannya ? Kalau begitu, kita naik keledai bersama-sama”. Keduanya lalu naik keledai dan melanjutkan perjalanan.
Kemudian mereka bertemu sekelompok orang penyayang binatang. Mereka meneriaki ayah dan anaknya. “Tidakkah kalian takut kepada Allah menyiksa hewan yang kurus ini. Kalian berdua menaikinya bersama-sama, padahal berat badan kalian lebih berat dari berat keledai”. Juha pun turun dari keledai. Ia juga menurunkan anaknya. Ia berkata:” Bukankah engkau mendengarkan ucapan mereka?. Marilah kita berjalan kaki dan kita biarkan keledai ini berjalan di depan kita, supaya kota aman dari omongan
jelek lakilaki, perempuan dan penyayang binatang”. K e d u a n y a pun berjalan dan keledai itu berjalan di depan mereka.
Di tengah jalan, mereka bertemu sekelompok orang yang suka usil dan pintar mengolokolok. Mereka membuat Juha dan anaknya sebagai bahan ejekan dan hinaan. Mereka berkata, “Demi Allah, sebaiknya kalian menggotong keledai ini agar kalian bisa menjaganya dari jalanan yang tidak rata”. Mendengar ucapan mereka, Juha dan anaknya mencari sebuah pohon, lalu memotong dahan yang kuat dari pohon itu. Mereka mengikat keledai pada dahan itu dan kemudian menggotongnya.
Belum berselang lama mereka berjalan, orang-orang berarak-arakanan mengikuti Juha dan anaknya. Mereka menertawakan pemandangan aneh itu sehingga seorang polisi menghentikan arak-arakan tersebut. Polisi lalu membawa Juha dan anaknya ke tempat penampungan orang gila.
Ketika nasib Juha berakhir di rumah sakit jiwa, tiba saatnya untuk menjelaskan kepada anaknya kesimpulan dari pengalaman mereka. Juha menoleh pada anaknya sembari berkata:” Inilah wahai anakku. Akibat orang yang suka mendengarkan omongan orang lain, juga akibat dari orang yang tidak berbuat kecuali untuk menyenangkan orang lain”. Pelajaran ini senantiasa terngiang dalam benak anaknya dan diabadikan dalam sejarah. [MN Harisudin/Disadur dari Muhammad Amin al-Jundi]