Majalah Khittah Headline Animator

Minggu, 05 Agustus 2007

Tak Bergeming Diimingi Jabatan Bupati Lumajang

"Tidak banyak yang tahu bahwa Jember pernah memiliki seorang ulama besar yang tidak hanya berjuang membesarkan NU, tapi juga berjuang melawan kolonial, dan dua periode menjabat sebagai Ketua DPRD Jember. Dialah KH. Mahmud Nahrawi".
Di antara deretan nama ulama Jember, nama KH. Mahmud –sapaan akrabnya— nyaris tak pernah muncul, seolah tenggelam ditelan waktu. Padahal, di era 60-an, kiprah KH. Mahmud cukup menjulang, baik di Jember maupun di kancah nasional.

KH. Mahmud, lahir di Jember tahun 1924. Ia anak kedua dari 13 bersaudara, 5 di antaranya saudara lain ibu. Jika ditelusuri lebih jauh, KH. Mahmud masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga para kiai Tebuireng dan Paterongan (Jombang). Bahkan dengan KH. Abdullah Faqih (Langitan), beliau masih terhitung sepupu.

Sejak muda, KH. Mahmud memang diikenal ulet. Ia senang berkelana mencari ilmu kepada sejumlah ulama. Terakhir, selama 7 tahun ia mondok di Pesantren Tebuireng yang saat itu diasuh oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Hubungan KH. Mahmud dengan gurunya, KH. Hasyim Asy’ari, cukup dekat, malah kemudian ia dipercaya menjadi sekretaris pribadinya.

Sepulang dari Tebuireng, KH. Mahmud membangun rumah tangga dengan menyunting seorang gadis bernama Siti Aisyah. Sejak saat itu, kiprahnya di NU kian mengkilap. Malah, selagi usianya masih relatif muda, KH. Mahmud terpilih sebagai Ketua Tanfidziah PCNU Jember, dibantu oleh KH. A.Muchit Muzadi di posisi Sekretaris, sedangkan KH. Abdusshomad (ayahanda KH. Mahmud. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember) di bagian perlengkapan. Itu terjadi antara tahun 1960 sampai 1972.

Kecintaannya kepada NU begitu mendalam, bahkan sangat dalam. Sehingga ketika NU menjelma menjadi partai, KH. Mahmud juga terjun ke partai NU. Dan itulah yang akhirnya mengantarkan KH. Mahmud duduk di kursi Ketua DPRD Jember selama 2 periode (1967 s/d 1972). “Bisa dikatakan, aba-lah Ketua DPRD pertama Jember, karena saat itu ada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru”, ujar putra satu-satunya, Gus Fahmi Hidayat.

Selama menjabat sebagai Ketua DPRD, KH. Mahmud tetap hidup sederhana. Baginya, jabatan hanya sebagai wasa’il (perantara), bukan sebagai maqashid (tujuan). Sampai-sampai mobil dinasnya jarang dinaiki karena sering dipergunakan masyarakat untuk beragam kegiatan.

KH. Mahmud dikenal sangat teguh pendirian. Kalau sesuatu sudah diyakini kebenarannya, apapun yang terjadi ia tak bergeser dari sesuatu itu meski hanya sejengkal. Hal ini bisa dilihat misalnya dari

penolakannya terhadap hegemoni Golkar dengan Orde Baru-nya. Saat itu, semua PNS --ulama sekalipun—diwajibkan masuk Golkar. Jika tidak, akan berefek kepada jabatannya, bisa disanksi dengan dimutasi ke tempat yang jauh, dan karirnya dipastikan mandeg, selain teror yang tak henti-hentinya. Namun KH. Mahmud yang saat itu menjadi penghulu, tidak bergeming sedikitpun untuk berpaling ke Golkar. Ia tidak takut jiwanya melayang, apalagi hanya hilang jabatan. Ketika itu siapapun yang memusuhi Golkar, harus siap menderita lahir-bathin. Betapa tidak, Golkar dengan ditopang oleh kekuasaan yang absolut, bisa berbuat apa saja untuk memaksa seseorang agar bergabung, minimal tidak vokal. Terkait dengan itu, KH. Mahmud ditawari jabatan Bupati Lumajang asalkan bisa kompromi dengan pemerintah. Tapi sekali lagi, ia ogah kompromi, dan status PNS-nya juga tidak dicabut. Begitu juga ketika banyak ulama dan kader Ansor diculik dan siksa (1971), KH. Mahmud tampil membela di barisan terdepan, bahkan di depan pasukan RPKAD.

KH. Mahmud merupakan figur pemimpin yang nyaris sempurna. Selain alim, ia juga pemberani dan negosiator yang ulung. Sebagai bagian dari pemerintah (legislatif), KH. Mahmud menjalin hubungan baik dengan jajaran eksekutif, namun tetap menjaga jarak. Ketika Bupati Abdul Hadi gagal memperjuangkan diakuinya lambang Jember di tingkat kementerian dalam negeri, maka KH. Mahmud pun tampil. Ia berangkat bersama istrinya menemui Mendagri Amir Machmud, dan berhasil “mendaftarkan” lambang Jember, sehingga lambang itulah yang sampai sekarang dipakai dan menjadi kebanggan masyarakat Jember. “Bahkan ketika itu, di Jakarta aba kekurangan sangu, sehingga ibu menjual kalung yang dipakainya”, kenang Gus Fahmi Hidayat.

Walaupun terkesan akrab dengan Bupati, tapi jangan coba-coba perasaan umat Islam diusik. Lihat saja ketika sang Bupati memutuskan membuat patung legenda pahlawan Jember, Letkol Moh. Sroeji, maka secara spontan KH. Mahmud menolaknya. Dengan lantang, ia berkampanye menolak patung itu. Bukan karena apa, tapi karena patung tersebut ditempatkan pas di depan Masjid Jami’ (selatan). Lebih dari itu, kriteria untuk mempatungkan Letkol. Moh. Sroeji dinilai kurang tepat oleh KH. Mahmud . Sebab, kalau alasannya terkait dengan kepahlawanan yang bersangkutan, maka banyak sekali para ulama yang dengan gigih berjuang menumpas penjajah, bahkan KH. Mahmud sendiri adalah komandan Hizbullah, walaupun mereka sedikitpun tak ingin dipatungkan. “Alasan terpenting karena patung itu ditaruh di depan masjid”, ujar Gus Fahmi.

Namun karena Bupati berkuasa, maka patung itu tetap saja bercokol di depan masjid, walaupun semua ulama Jember tidak setuju. Tapi karena terus didesak oleh para kyai, akhirnya patung itu dipindah ke Kaliwates oleh Abdul Hadi.

Nampaknya konsistensi sikap KH. Mahmud sudah tertancap dalam-dalam di hatinya, terutama dalam bersikap kritis terhadap pemerintah. Terbukti, sejak dimusuhi Golkar, ia tak pernah lagi mengambil gaji dan pensiunnya sampai wafat. Tidak hanya itu, KH. Mahmud juga ogah mengambil bintang gerilya yang diberikan pemerintah atas jasa-jasanya sebagai pejuang. Teguh berprinsip dan bejuang karena Allah adalah harga mati yang menjadi postulat KH. Mahmud dalam mengarungi kehidupan.

Sekitar 5 tahun sebelum wafat, KH. Mahmud sudah mengambil jarak dari aktifitas duniawi. Ia setiap hari menghatamkan al-Qur’an yang dilakukannya secara rutin sejak subuh sampai malam. Dan akhirnya Allah memanggil hamba yang dicintai-Nya itu (1996) dengan epilog yang didambakan semua umat; husnul khotimah (aryudi a. razaq).


Tidak ada komentar: