Majalah Khittah Headline Animator

Minggu, 05 Agustus 2007

Protestan

MERASA agak kurang sehat, Kiai Sodrun pamit tidak bisa ikut acara kunjungan kerja bersama teman-temannya. Ia memilih berada di kantor sendirian. Tetapi sial. Tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, beberapa orang mendatangi kantor dewan untuk menyampaikab protes atas kebijakan pemerintah daerah yang mereka nilai tidak adil. Mau tidak mau, ia harus menemui mereka.
Setelah menyampaikan berbagai keluhan panjang lebar, seorang juru bicara mereka mengatakan:
“Pokoknya kami memprotes kebijakan yang tidak adil ini. Kami memprotes peraturan yang sewenang-wenang ini. Dan kami juga memprotes sikap arogansi ini”.
Setelah mendengarkan panjang lebar apa yang disampaikan mereka, tiba giliran Kiai Sodrun memberikan tanggapan:
“ Baiklah, untuk sementara kami tampung aspirasi ini guna ditindak lanjuti. Sekarang, bapak-bapak protestan boleh pulang”.
Tiba-tiba salah satu pengunjuk rasa itu berdiri sambil mengacungkan tangan dan berkata:” Bapak jangan asal ngomong ! Kami semua ini orang muslim, bukan orang Protestan”.
“Saya tahu itu,” jawa Kiai Sodrun. “Tetapi kedatangan bapak-bapak ini kan untuk menyampaikan protes ? Jadi saya sebut saja bapak-bapak ini para protestan”.

Tak Bisa Mematikan Handphone

KOMISI A sedang melakukan rapat dengar pendapat dengan sebuah instansi. Begitu pemimpin selesai membuka rapat, Kiai Sodrun angkat tangan:
“Demi kelancaran jalannya rapat ini dan tidak ada yang terganggu, saya usul supaya semua mematikan hand phonenya,” katanya dengan tegas.
Usul kiai Sodrun disetujui. Beberapa menit kemudian, ia tersentak sadar kalau ia juga membawa hand phone yang baru ia beli seminggu yang lalu. Ia bingung karena belum tahu bagaimana cara mematikannya. Ia khawatir ada yang mengontaknya. Benar. Tiba-tiba hand phonenya memang berbunyi. Karuan saja semua peserta rapat kaget. Mereka menatap wajah Kiai Sodrun. Wajahnya nampak pucat pasi.
“Bukankah tadi saudara sendiri yang usul untuk mematikan semua hand phone !” kata pimpinan rapat dengan marah.
“Benar. Tapi maksud saya , kecuali bagi yang belum tahu bagaimana cara mematikannya”, jawa Kiai Sodrun.
Ia lalu minta izin keluar sebentar. Dan setelah menyimpan hand phonenya di ruang kerja, ia kembali lagi ke ruang rapat.

Jangan Pedulikan Omongan Orang


Juha dan anaknya, dua orang yang selalu berlawanan dalam perilaku mereka. Setiap kali Juha memerintah anaknya melakukan sesuatu, namun anaknya selalu menentang perintah itu.



Malah, anaknya selalu berkata: “Apa kata orang tentang kita bila mereka mengetahui hal itu ?”. Suatu ketika, Juha ingin memberi pelajaran kepada anaknya, suatu pelajaran yang berguna dan membuatnya berhenti menuruti omongan orang lain. Karena dengan menuruti semua omongan orang lain, semua tujuan tidak akan tercapai.
Juha lalu menaiki seekor keledai dan menyuruhanaknya berhenti di belakang. Belum lama melangkah, mereka berdua bertemu dengan beberapa wanita. Para wanita itu berteriak pada Juha, “ Bagaimana kamu ini wahai lelaki, tidak adakah di dalam hatimu rasa anaknya naik keledai itu.
Mereka kemudian melewati sekelompok orang tua yang sedang duduk di bawah terik matahari. Salah satu dari mereka menepukkan kedua telapak tangannya dan menarik perhatian orang lain untuk melihat laki-laki tolol yang berjalan dan membiarkan anaknya naik keledai. Orang-orang itu mengomentari mereka, “ Maumaunya kamu berjalan dan kamu biarkan hewan ini untukmu, lalu kamu berharap bisa mengajarinya malu dan sopan santun ?”. Juha berkata pada anaknya.” Bukankah engkau mendengarkan ucapannya ? Kalau begitu, kita naik keledai bersama-sama”. Keduanya lalu naik keledai dan melanjutkan perjalanan.
Kemudian mereka bertemu sekelompok orang penyayang binatang. Mereka meneriaki ayah dan anaknya. “Tidakkah kalian takut kepada Allah menyiksa hewan yang kurus ini. Kalian berdua menaikinya bersama-sama, padahal berat badan kalian lebih berat dari berat keledai”. Juha pun turun dari keledai. Ia juga menurunkan anaknya. Ia berkata:” Bukankah engkau mendengarkan ucapan mereka?. Marilah kita berjalan kaki dan kita biarkan keledai ini berjalan di depan kita, supaya kota aman dari omongan
jelek lakilaki, perempuan dan penyayang binatang”. K e d u a n y a pun berjalan dan keledai itu berjalan di depan mereka.
Di tengah jalan, mereka bertemu sekelompok orang yang suka usil dan pintar mengolokolok. Mereka membuat Juha dan anaknya sebagai bahan ejekan dan hinaan. Mereka berkata, “Demi Allah, sebaiknya kalian menggotong keledai ini agar kalian bisa menjaganya dari jalanan yang tidak rata”. Mendengar ucapan mereka, Juha dan anaknya mencari sebuah pohon, lalu memotong dahan yang kuat dari pohon itu. Mereka mengikat keledai pada dahan itu dan kemudian menggotongnya.
Belum berselang lama mereka berjalan, orang-orang berarak-arakanan mengikuti Juha dan anaknya. Mereka menertawakan pemandangan aneh itu sehingga seorang polisi menghentikan arak-arakan tersebut. Polisi lalu membawa Juha dan anaknya ke tempat penampungan orang gila.
Ketika nasib Juha berakhir di rumah sakit jiwa, tiba saatnya untuk menjelaskan kepada anaknya kesimpulan dari pengalaman mereka. Juha menoleh pada anaknya sembari berkata:” Inilah wahai anakku. Akibat orang yang suka mendengarkan omongan orang lain, juga akibat dari orang yang tidak berbuat kecuali untuk menyenangkan orang lain”. Pelajaran ini senantiasa terngiang dalam benak anaknya dan diabadikan dalam sejarah. [MN Harisudin/Disadur dari Muhammad Amin al-Jundi]

Tak Bergeming Diimingi Jabatan Bupati Lumajang

"Tidak banyak yang tahu bahwa Jember pernah memiliki seorang ulama besar yang tidak hanya berjuang membesarkan NU, tapi juga berjuang melawan kolonial, dan dua periode menjabat sebagai Ketua DPRD Jember. Dialah KH. Mahmud Nahrawi".
Di antara deretan nama ulama Jember, nama KH. Mahmud –sapaan akrabnya— nyaris tak pernah muncul, seolah tenggelam ditelan waktu. Padahal, di era 60-an, kiprah KH. Mahmud cukup menjulang, baik di Jember maupun di kancah nasional.

KH. Mahmud, lahir di Jember tahun 1924. Ia anak kedua dari 13 bersaudara, 5 di antaranya saudara lain ibu. Jika ditelusuri lebih jauh, KH. Mahmud masih ada hubungan kekerabatan dengan keluarga para kiai Tebuireng dan Paterongan (Jombang). Bahkan dengan KH. Abdullah Faqih (Langitan), beliau masih terhitung sepupu.

Sejak muda, KH. Mahmud memang diikenal ulet. Ia senang berkelana mencari ilmu kepada sejumlah ulama. Terakhir, selama 7 tahun ia mondok di Pesantren Tebuireng yang saat itu diasuh oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Hubungan KH. Mahmud dengan gurunya, KH. Hasyim Asy’ari, cukup dekat, malah kemudian ia dipercaya menjadi sekretaris pribadinya.

Sepulang dari Tebuireng, KH. Mahmud membangun rumah tangga dengan menyunting seorang gadis bernama Siti Aisyah. Sejak saat itu, kiprahnya di NU kian mengkilap. Malah, selagi usianya masih relatif muda, KH. Mahmud terpilih sebagai Ketua Tanfidziah PCNU Jember, dibantu oleh KH. A.Muchit Muzadi di posisi Sekretaris, sedangkan KH. Abdusshomad (ayahanda KH. Mahmud. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember) di bagian perlengkapan. Itu terjadi antara tahun 1960 sampai 1972.

Kecintaannya kepada NU begitu mendalam, bahkan sangat dalam. Sehingga ketika NU menjelma menjadi partai, KH. Mahmud juga terjun ke partai NU. Dan itulah yang akhirnya mengantarkan KH. Mahmud duduk di kursi Ketua DPRD Jember selama 2 periode (1967 s/d 1972). “Bisa dikatakan, aba-lah Ketua DPRD pertama Jember, karena saat itu ada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru”, ujar putra satu-satunya, Gus Fahmi Hidayat.

Selama menjabat sebagai Ketua DPRD, KH. Mahmud tetap hidup sederhana. Baginya, jabatan hanya sebagai wasa’il (perantara), bukan sebagai maqashid (tujuan). Sampai-sampai mobil dinasnya jarang dinaiki karena sering dipergunakan masyarakat untuk beragam kegiatan.

KH. Mahmud dikenal sangat teguh pendirian. Kalau sesuatu sudah diyakini kebenarannya, apapun yang terjadi ia tak bergeser dari sesuatu itu meski hanya sejengkal. Hal ini bisa dilihat misalnya dari

penolakannya terhadap hegemoni Golkar dengan Orde Baru-nya. Saat itu, semua PNS --ulama sekalipun—diwajibkan masuk Golkar. Jika tidak, akan berefek kepada jabatannya, bisa disanksi dengan dimutasi ke tempat yang jauh, dan karirnya dipastikan mandeg, selain teror yang tak henti-hentinya. Namun KH. Mahmud yang saat itu menjadi penghulu, tidak bergeming sedikitpun untuk berpaling ke Golkar. Ia tidak takut jiwanya melayang, apalagi hanya hilang jabatan. Ketika itu siapapun yang memusuhi Golkar, harus siap menderita lahir-bathin. Betapa tidak, Golkar dengan ditopang oleh kekuasaan yang absolut, bisa berbuat apa saja untuk memaksa seseorang agar bergabung, minimal tidak vokal. Terkait dengan itu, KH. Mahmud ditawari jabatan Bupati Lumajang asalkan bisa kompromi dengan pemerintah. Tapi sekali lagi, ia ogah kompromi, dan status PNS-nya juga tidak dicabut. Begitu juga ketika banyak ulama dan kader Ansor diculik dan siksa (1971), KH. Mahmud tampil membela di barisan terdepan, bahkan di depan pasukan RPKAD.

KH. Mahmud merupakan figur pemimpin yang nyaris sempurna. Selain alim, ia juga pemberani dan negosiator yang ulung. Sebagai bagian dari pemerintah (legislatif), KH. Mahmud menjalin hubungan baik dengan jajaran eksekutif, namun tetap menjaga jarak. Ketika Bupati Abdul Hadi gagal memperjuangkan diakuinya lambang Jember di tingkat kementerian dalam negeri, maka KH. Mahmud pun tampil. Ia berangkat bersama istrinya menemui Mendagri Amir Machmud, dan berhasil “mendaftarkan” lambang Jember, sehingga lambang itulah yang sampai sekarang dipakai dan menjadi kebanggan masyarakat Jember. “Bahkan ketika itu, di Jakarta aba kekurangan sangu, sehingga ibu menjual kalung yang dipakainya”, kenang Gus Fahmi Hidayat.

Walaupun terkesan akrab dengan Bupati, tapi jangan coba-coba perasaan umat Islam diusik. Lihat saja ketika sang Bupati memutuskan membuat patung legenda pahlawan Jember, Letkol Moh. Sroeji, maka secara spontan KH. Mahmud menolaknya. Dengan lantang, ia berkampanye menolak patung itu. Bukan karena apa, tapi karena patung tersebut ditempatkan pas di depan Masjid Jami’ (selatan). Lebih dari itu, kriteria untuk mempatungkan Letkol. Moh. Sroeji dinilai kurang tepat oleh KH. Mahmud . Sebab, kalau alasannya terkait dengan kepahlawanan yang bersangkutan, maka banyak sekali para ulama yang dengan gigih berjuang menumpas penjajah, bahkan KH. Mahmud sendiri adalah komandan Hizbullah, walaupun mereka sedikitpun tak ingin dipatungkan. “Alasan terpenting karena patung itu ditaruh di depan masjid”, ujar Gus Fahmi.

Namun karena Bupati berkuasa, maka patung itu tetap saja bercokol di depan masjid, walaupun semua ulama Jember tidak setuju. Tapi karena terus didesak oleh para kyai, akhirnya patung itu dipindah ke Kaliwates oleh Abdul Hadi.

Nampaknya konsistensi sikap KH. Mahmud sudah tertancap dalam-dalam di hatinya, terutama dalam bersikap kritis terhadap pemerintah. Terbukti, sejak dimusuhi Golkar, ia tak pernah lagi mengambil gaji dan pensiunnya sampai wafat. Tidak hanya itu, KH. Mahmud juga ogah mengambil bintang gerilya yang diberikan pemerintah atas jasa-jasanya sebagai pejuang. Teguh berprinsip dan bejuang karena Allah adalah harga mati yang menjadi postulat KH. Mahmud dalam mengarungi kehidupan.

Sekitar 5 tahun sebelum wafat, KH. Mahmud sudah mengambil jarak dari aktifitas duniawi. Ia setiap hari menghatamkan al-Qur’an yang dilakukannya secara rutin sejak subuh sampai malam. Dan akhirnya Allah memanggil hamba yang dicintai-Nya itu (1996) dengan epilog yang didambakan semua umat; husnul khotimah (aryudi a. razaq).


Restoran Penggugah Kalbu [Siti Roudlatul Jannah]



Tak sengaja aku memergoki
sejoli tengah duduk di sebuah
restoran yang biasa disinggahi
masyarakat penempuh jarak
Jember-Surabaya. Mereka
membawa bayi yang terlihat
bersemangat melebarkan mulutnya, begitu si ibu menyuapkan sesendok bubur kepadanya. Si ayah pun tak mau ketinggalan, bak sebuah gerakan ritmis, suapan demi suapan nasi dan lauk, dikunyahnya hingga tandas. Pada hitungan kedua puluh enam, piringnya bersih tak bersisa.

Entah kenapa, mataku tak hendak lepas dari keberadaan keluarga muda itu. Yang jelas, wajah dan perawakan si ibu membuat otakku tak henti takjub. Mukanya yang oval sungguh eksotis, matanya bulat dengan bulu mata lentik nan panjang. Belum lagi bibir mungilnya yang memerah jambu. Kulit putih si ibu sangat kontras dengan si ayah. Bapak bayi itu, serupa dengan si mungil, gelap, dengan wajah hampir segi empat.
Ya. Mungkin ironisme penampilan itu yang membuat mata ini hanya terpaku pada mereka. Bahkan nasi pesananku pun sampai mengembang bersama kuah rawon, saking lamanya tidak disentuh. Tapi aku rela, jarang ada pemandangan sarkastis yang bisa kujumpai seperti siang ini. Adegan demi adegan berupa gerakan akan mereka, tak luput dari ekor mataku. Karenanya, ketika pada menit ke-35 si ayah bangkit dari tempat duduknya, aku penasaran karena tak sesuai perkiraan akalku. Aku pikir dia akan bangun, menggendong bayinya, dan membiarkan istrinya makan.
Kuperhatikan dia, oh, ternyata pergi ke toilet. Tujuh menit berlalu, batang hidungnya muncul dengan sebatang rokok tersangkut di mulutnya yang lebar. Rupanya dia pegalpegal, nyatanya punggungnya ditekankan ke kursi sambil menyelonjorkan kakinya. Namun demikian, asap rokok tak henti keluar dari hidung dan mulutnya.
Sesaat berlalu, si pria memperhatikan anaknya yang masih asyik mengunyah bubur tim-nya. Dilihatnya pula si istri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku berkesimpulan dia mulai tidak tahan menunggu, padahal belum satu jam mereka masuk, duduk dan makan di sana. Dilihatnya arlojinya, lalu melangkah ke pintu keluar restoran dimaksud.
Sekali lagi, dilihatnya jam tangan putihnya yang nampak bertentangan dengan baju oranye dan kulit coklatnya. Mungkin tak tahan lagi, dia menghampiri meja makan di mana anaknya masih lahap mengunyah. “Ne’ mangan ojo’ suwe-suwe, engkuk telat sampe’i nang Suroboyo ( Kalau makan jangan lamalama, nanti telat sampai ke Surabaya-red),” bentaknya kepada istrinya.
Rona wajah si ibu nampak berubah, cukup kentara warna merah di kulit wajah nan mulus itu. “Ana’e lapar mas, ket isu’ ora mandeg blas, mumpung de’e gellem (anaknya lapar mas, mulai tadi pagi tidak makan.Mumpung sekarang mau) ,” tukas istrinya lembut.
“Ayo budal, mangan ambe’ mlaku wae (ayo berangkat, makan sambil berjalan saja),” tegas si suami.
“Tapi engku’ muntah ne’ disuapin ambe’ mlaku. Si’ ta mas, enteni sedilu’, (tapi nanti muntah kalu disuapin sambil jalan) ”si istri membela buah hatinya sekuat tenaga.
Ha, si suami luluh juga pada akhirnya. Sambil berdiri di depan anak-istrinya, dia menempatkan satu tangannya di pinggang, seakan hendak menantang. Matanya nanar menghujam ke arah nyonya-nya. Lima menit kemudian, bubur tim semangkuk kecil telah berpindah tempat ke perut mini putrinya. Balita berwajah persis bapaknya itu terlihat gembira, dekiknya kelihatan ketikasi ibu menepuk-nepuk punggungnya agar bersendawa.
Sayangnya, sambutan si ayah tak sepadan dengan keriangan bayi empat bulanan itu. “Wis, awakmu maemo, cepetan, (sudah kamu, makan cepetan)” perintahnya kepada istrinya. Herannya, dia tak berniat menggantikan peran istrinya dengan menggendong anaknya, senyampang istrinya makan. Akibatnya, ibu dan anak itu masih dalam posisi menggendong dan digendong. Di sisi kiri, tangan si ibu memegang putrinya yang kini menyusu di putingnya, di sebelah kanan memasukkan nasi ke mulutnya.
Baru masuk dua suapan, si kecil mengobrak-abrik isi piring si ibu. Menghindari gangguan kecil itu, ibunya menjauhkan piring itu dari jangkauan si mngil. Tentu saja, ada harga yang harus dibayar, si ibu tak mudah lagi memotong empal dengan sendok di piringnya, apalagi menyuapnya. Melihat kejadian tersebut, kesabaran si ayah licin tandas. Direnggutnya tangan kanan sang istri yang sedang memegang sendok, ditariknya agar berdiri, lalu dibentak tanpa perasaan. Untung si ibu sigap mengencangkan tangan kiri sehingga si bayi tetap dalam gendongannya.
“Terus kapan marine ne’ maeme koyok bekicot. Ayo wis, mulih, (terus, kapan selesainya makan. Kalau makannya seperti bekicot. Ayo, pulang),” hardiknya. Suara bariton disertai sendok berdenting di lantai itu menarik perhatian pengunjung yang lain. Puluhan pasang mata menohok ke meja nomor 22 itu. Mungkin tidak nyaman dengan keadaan tersebut, si pria buru-buru menyambar tas penyimpan barang-barang bayinya. Diseretnya perempuan muda yang mulai menangis sesenggukan itu.
Masyaallah, berani sekali pria itu memperlakukan istri dan anaknya seperti budak. Aku yang duduk di dekat merekasampai kehilangan selera makan. Andai aku pria, sudah kuajak duel pria jahat itu, satu lawan satu. Namun aku tak punya keberanian mencegah penyiksaan tersebut berlanjut.
Di sisi lain, aku introspeksi diriku sendiri, tak henti bersyukur kepada Allah, meski anakku telah berjumlah tujuh orang, badanku sudah tak selangsing dulu lagi, kerut di wajahku mulai permanen, belum pernah suamiku memperlakukan ku sehina itu. Aku terus berpikir, gerangan apa kesalahan wanita molek itu sehingga suaminya tega berbuat kasar kepadanya, di depan orang banyak pula.
Selagi sibuk berpikir tentang laki-laki bertubuh gempal itu, eh, dia nongol lagi di pintu restoran. Dia bergegas menuju kasir, rupanya dia belum membayar untuk semua makanan yang dipesan, termasuk sepiring nasi istrinya yang relatif utuh.
Penasaran dengan semua kejadian itu, spontan kuikuti langkah panjang si bapak. Dia bergegas menuju ke sebuah Katana hitam keluaran dua puluh tahun silam. Kulihat dengan jelas, istrinya masih tergugu dengan air mata terurai. Sementara si mungil menangis menjeritjerit tak karuan. Distater-nya mobilnya dengan gas menderu. Aku benar-benar tak tahan melihat pemandangan itu. Kuhampiri mobilnya dengan setengah berlari.
“Bapak ini kasar sekali, kan kasihan istri bapak belum sempat makan, padahal dia menyusui. Bagaimana ASI-nya mau keluar kalau dia belum sempat kenyang, bahkan belum sempat minum? Saya memperhatikan kalian sejak baru masuk restoran itu,” tukasku dengan pandangan nanar, tepat menuju wajah si bapak. Aku bersiap kalau dia tersinggung dan hendak menyakitiku, minimal mengata-ngatai. Sekilas kulihat ada tasbih di spion dalam mobilnya. Sementara dia tak dapat berkatakata, kulanjutkan ucapanku padanya. “Kalau tidak salah Anda ini Muslim, bagaimana mungkin bisa sejahat itu kepada orang yang seharusnya dilindungi? Kalau tidak Anda yang menyayangi mereka, lalu siapa yang mau?” lalu kuhentikan ucapanku karena air mata mulai menitik dari sudut mataku.
Suami istri itu sama-sama menatap wajahku. Hanya saja, istrinya bersorotterimakasih, suaminya sebaliknya. Tanpa mempedulikanku lagi, dia menikung di depanku, selanjutnya menggeber mobilnya menuju ke arah Surabaya.
Ya Allah, tulangku seakan dilolosi satu persatu. Belum pernah aku semarah ini sebelumnya, kepada makhluk mana pun didunia ini. Tapi melihat kejadian tadi, aku lupa kalau aku masih punya anak dan suami yang ingin melihatku pulang dengan jiwa dan raga yang sehat. Lunglai ku menuju kasir, kubayar makanan yang tak jadi kumakan sambil berpesan kepada kasir, kalau ada yang mau, silahkanmenikmati menu yang belum sempat kusantap itu.
Tak lama kemudian, aku kembali kemobil carteran yang kunaiki bersama tujuh orang lainnya. Aku sedih, mengapa kekerasan demi kekerasan senantiasa menerpa mereka yang lemah secara ekonomi, budaya dan politik?Ah, kapan dunia ini bisa sedikit lebih adil kepada yang tak berdaya? Di mana tuntunan agama yang mulia itu mereka simpan? Mengapa tidak mengejawantah dalam tindaktanduk mereka sehari-hari? Aku sungguh pusing dibuatnya.@

Ketika Jumlah Penduduk Miskin Diperdebatkan

Jumlah penduduk
miskin di negeri ini masih
menjadi perdebatan.
Hal itu terkait dengan
pengumuman Badan
Pusat Statistik (BPS)
di Jakarta, 2 Juli lalu.
BPS menyebutkan, 37,17
juta orang atau 16,58 persen dari 224,328 juta penduduk Indonesia tergolong miskin.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka yang dikeluarkan BPS tahun ini terbilang lebih kecil. Pasalnya, Maret 2006 lalu, jumlah penduduk miskin yang dilansir BPS masih berkisar pada angka 39,30 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Itu artinya, ada penurunan
penduduk miskin 2,13 juta jiwa.
Penetapan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 ini, menurut Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Sosial Arizal Ahnaf, ditetapkan sesuai dengan standar garis kemiskinan senilai Rp. 166.697 per kapita per bulan. Bila dibandingkan dengan garis kemiskinan pada tahun sebelumnya, yang tercatat senilai Rp. 151.997 per kapita per bulan, garis kemiskinan pada tahun 2007 ini naik 9,67 persen.
Menurut Arizal, persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan pedesaan tidak banyak berubah. Di desa hanya berkurang 1,20 juta, sedangkan di kota berkurang 930 ribu orang. Padahal, jumlah penduduk miskin sebagian besar atau sekitar 63,52 persen, masih berada di pedesaan.
Arizal juga menjelaskan, pengurangan jumlah penduduk miskin pada saat garis kemiskinan naik lebih tinggi menunjukkan pendapatan penduduk miskin meningkat daripada garis kemiskinan tersebut. Dia memperkirakan, menurunnya jumlah penduduk miskin dikarenakan mereka berhasil memanfaatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2006 untuk kegiatan produktif, sehingga kini tidak lagi tergolong miskin.
Kendati demikian, Arizal Ahnaf mengaku bila BPS tidak memiliki data terkait dengan peningkatan pendapatan penduduk miskin yang ada. Dia juga menyebutkan, upah buruh secara riil pada periode Maret 2006 – Maret 2007, tidak mengalami kenaikan, meskipun nilai tukar petani pada periode itu meningkat dari 101 menjadi 109.
Sementara itu, ekonom dari Tim Indonesia Bangkit (TIB), Hendri Saparini menilai, turunnya angka kemiskinan pada tahun ini tidak bisa dipercaya begitu saja. Menurutnya, hal itu dikarenakan daya beli masyarakat, nilai tukar petani, serta upah buruh, justru mengalami penurunan. Apalagi BLT sudah dihentikan, dan bantuan tunai bersyarat belum dimulai.
Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Drajat H. Wibowo. Dia manyatakan, sulit mempercayai penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun ini. Pasalnya, Drajat H. Wibowo menilai, pemerintah belum berhasil menstabilkan harga kebutuhan pokok yang semakin membebani masyarakat. Demikian pula dengan kenaikan pendapatan rakyat miskin. Drajat H. Wibowo berpendapat, hal itu juga sulit dipercaya. Menurutnya, tanpa ada lapangan kerja yang riil, tidak mungkin pendapatan rakyat miskin mengalami peningkatan.

Dicurigai ada Intervensi Pemerintah
Terkait dengan adanya penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun ini, sejumlah pengamat dari TIB menganggap pemerintah mengintervensi BPS. Sebab, sebelum hasil survei diumumkan ke publik, Presiden SBY terlebih dahulu memanggil sejumlah petinggi BPS.
Iman Sugema, salah satu ekonom TIB mengungkapkan, garis kemiskinan mestinya berkisar di angka Rp. 180.000 per kapita per bulan. Jumlah tersebut didapat dari garis kemiskinan tahun lalu dikalikan dua kali ratarata infl asi Maret 2006 – Maret 2007. Menurut Iman Sugema, hal itu berdasarkan hasil kajian BPS dengan ADB (Bank Pembangunan Asia).
Sementara itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, membantah tuduhan tersebut. Menurut Paskah, survei yang dilakukan BPS tahun ini justru lebih baik. Pasalnya, sampel yang dilibatkan jumlahnya lebih banyak. Tahun lalu, sampelnya 10 ribu orang, sedangkan tahun ini meningkat menjadi 68 ribu orang, sehingga metode yang digunakan juga semakin baik.
Paskah menegaskan, meski BPS berada dalam koordinasi Bappenas, pihaknya tidak pernah mempengaruhi kinerja lembaga survei resmi pemerintah tersebut. Bahkan, bila tuduhan semacam berlanjut, paskah mengakusiap disumpah pocong.
Mengenai data kemiskinan yang dipersoalkan pada tahun ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku heran dengan kontroversi tentang penurunan jumlah penduduk miskin 2,13 juta. Kalla menegaskan, data-datakependudukan dan indikator makro ekonomi yang dilansir BPS bukan pesanan pemerintah. Kalla juga mengatakan, anggota DPR dan ekonom TIB yang meragukan keabsahan data kependudukan dan indikator makro ekonomi telah bertindak tidak sportif.

Penduduk Rentan Miskin
Terlepas dari benar atau tidak jumlahpenduduk miskin tersebut, yang jelas, keberadaan penduduk miskin di negeri ini, harus segera dientaskan. Karena jika dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan serius, bukan tidak mungkin jumlah penduduk miskin di negeri ini akan semakin bertambah. Terlebih lagi, bila hal itu dihubungkan dengan keberadaan sejumlah penduduk yang masih berada di sekitar garis kemiskinan atau penduduk yang rentan menjadi miskin.
Menurut Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, M. Chatib Basri, penduduk yang hidup dengan pengeluaran tepat pada garis kemiskinan atau sedikit di atas garis kemiskinan, amat mudah jatuh menjadi miskin. Menurutnya, penyebab utama adalah kebutuhan akan kebutuhan pokok, seperti beras. Beras menyumbang 28,64 persen darigaris kemiskinan di pedesaan dan 18,56 di perkotaan. Berdasarkan olahan data dari BPS, Bank Dunia menunjukkan, 7,4 persen penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah 1 dollar AS per hari. Tidak menutup kemungkinan, angka persentase itu melonjak menjadi 49 persen jika ditambahkan jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran 1-2 dollar per hari.
Sementara itu, Paul McCarthy dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di enam kota besar di Indonesia, menyebutkan, 22 persen penduduk di kota hidup dengan biaya kurang dari Rp. 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya hidup dengan pendapatan sekitar Rp. 350.000 sampai Rp. 500.000.
Selain itu, Bank Dunia juga mencatat,sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Di kota, tingkat kerentanan itu diperkirakan sekitar 29 persen, jauh lebih rendah dari kawasan pedesaan yang mencapai hingga 59 persen. Tapi yang jelas, tingkat kemiskinan semakin meningkat lantaran krisis ekonomi yang melanda negeri ini. [dion/dari berbagai sumber]

Panjat Kelapa dan Sistem Bermadzhab


"Setiap hari kita sudah
banyak memanfaatkan buah
dan bagian buah kelapa
seperti santan, dawet,
srondeng dan lain-lain,
bahkan tempurung kelapa,
serabut dan masih banyak
lagi."
Kalau ada yang tanya darimana didapat semua itu, maka dengan mudah sekali kita menjawab. Dari pohon kelapa, dipanjat pohonnya, diambil buahnya kemudian diolah menjadi es degan,
dawet dan lain-lain.
Bagaimana proses dan prosedur pemanjatan dan pengolahan itu ? Apa
semua orang harus memanjat sendirisendiri, mengolah sendiri-sendiri dan memanfaatkan sendiri-sendiri ?.
Semua orang boleh –bahkan harus— memanjat sendiri-sendiri, mengolah
sendiri-sendiri ? Dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa memanjat pohon kelapa dan tidak semua orang bisa mengolah buah kelapa, sekalipun semua orang senang minum es degan,
dawet, angsle dan lain-lain.
Kalau hal ini ditanyakan kepada kiai Sersan (serius tetapi santai), insyaallah akan mendapat jawaban bahwa semuaitu (santan, dawet, es degan, angsle dan sebagainya) adalah bagian dari buah kelapa yang didapat dari panjat pohon kelapa oleh ahli panjat kelapa kemudian diolah oleh yang mampu mengolah. Yang tidak mampu panjat kelapa dan tidak mampu mengolah, tidak ada lain kecuali makan minum saja apa yang sudah ada.
Seperti ajaran tentang wudlu, nikah, dan lain-lain, adalah hasil olahan para mujtahidin dari buah kelapa yang dipanjat oleh mujtahidin yang bisa panjat kelapa. Kita tinggal makan dan
minum hasil olahan para mujtahidin. Ibaratnya, mujtahidin adalah orang bisa panjat kelapa dan mengolahnya. Sementara, awamul muslimin adalah orang yang hanya memakan dan meminum hasil olahan tersebut.
Tidak semua orang bisa menjadi mujtahid, sama halnya tidak semua orang bisa panjat kelapa dan mengolahnya. Yang tidak mampu menjadi mujtahid tidak perlu dipaksakan menjadi menjadi mujtahid.
Inilah kearifan dalam Islam. Orang yang mampu berijtihad, disilahkan untuk berijtihad. Sementara orang yang tidak mampu berijtihad, disilahkan untuk taqlid pada orang yang mampu berijtihad. [KH> Abdul Muchit Muzadi/Mustasyar PBNU]

Berhasil Meningkatkan Jumlah Orang Miskin


Tanyakan pada orang miskin,
apa yang menyebabkan mereka
menjadi orang miskin. Lalu,
baru carikan jalan keluarnya
agar ia keluar dari kubangan
kemiskinan. Demikian sebuah
lontaran keras dalam sebuah
diskusi di lembaga swadaya
masyarakat.
Pertanyaan diatas memang menggugah naluri kemanusiaan kita: benarkah orang-orang menjadi miskin karena taqdir. Pengemis di jalanan itu, dalam kacamata ini, nampak telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Jawaban ini tentu tidak memuaskan kita. Karena, kalau benar itu taqdir, bukankah kita bisa beralih pada taqdir yang lain, seperti dikatakan Umar bin Khattab.
Sebagian orang menduga bahwa penyebab kemiskinan adalah kemalasan. Mereka menjadi miskin karena malas bekerja. Karena itu, yang dibutuhkan adalah prestasi. Hanya dengan prestasi, mereka akan keluar dari kubangan kemiskinan. Tapi, benarkah seorang petani yang tiap hari bekerja mulai jam 07.00 pagi hingga 04.00 sore, adalah orangorang yang malas bekerja. Sangat naif jika kita mengatakan mereka malas bekerja. Mereka adalah pekerja keras yang tidak mengenal lelah agar mendapat hasil panen yang melimpah. Jawaban orang miskin adalah karena malas, dengan demikian tidak memadai.
Jawaban yang paling tepat, adalah bahwa kemiskinan terjadi karena proses pemiskinan. Ada design atau rekayasauntuk membuat orang-orang tetap menjadi miskin. Menjadi orang miskin dengan demikian terjadi dengan sendirinya, tapi itu dibuat dalam skenario besar. Rekayasa ini bisa berupa harga pupuk dan benih yang mahal. Namun, juga bisa dengan harga gabah yang rendah. Tentu, ini berkait-erat dengan kebijakan pemerintah yang terkait. Orang tiba-tiba bisa menjadi miskin karena pemerintah menaikkan harga BBM. Petani bisa menjadi bangkrut
karena pemerintah mencopot subsidi pupuk. Demikian seterusnya.
Ironisnya, kebijakan penguasa selama ini masih tidak berpihak pada orang-orang miskin. Akibatnya, jumlah orang miskin pun bertambah banyak. Selorohnya teman LSM yang lain, “Dalam program pengentasan kemiskinan, pemerintah telah berhasil meningkatkan jumlah orang miskin”. Memang benar, kebijakan pemerintah telah membuat jumlah orang miskin berlipat-lipat. Kalaupun ada upaya berpihak pada orang miskin, seringkali ini hanya lip service penguasa belaka. Mereka
tidak pernah serius mengabdikan dirinya untuk kaum papa tersebut.
Tidak ada kata tulus. Yang mengucur di mulut penguasa selalu retorika yang tak berkesudahan. Lagi-lagi, kalaupun ada, penguasa hanya menjadikan program pengentasan kemiskinan sebagai proyek belaka. Misalnya, proyek bedah rumah disunat. Dana raskin diselewengkan. Bantuan untuk sekolah miskin dipotong sekian persennya. Mental penguasa bukan mental pekerja sosial (social workers) yang mempersembahkan hidupnya untuk kepentingan masyarakat luas. Sebaliknya, mental penguasa adalah mental orang yang memperkaya diri, bermewah-mewah di tengah kesulitan masyarakat bawah.
Sangat salah jika orang miskin melabuhkan harapan pada penguasa. Hingga kapanpun, penguasa akan seperti itu. Solusinya, tentu dimulai dari kesadaran diri orang miskin. Mereka harus sadar betapa kemiskinan yang melilit mereka sesungguhnya bersifat struktural. Karena kebijakan dan sistemlah yang membuat mereka menjadi “orang miskin”. Mereka telah sedemikian rupa “dimiskinkan” oleh sistem tadi. Termasuk kebijakan penguasa yang tidak progresif mengentaskan kemiskinan melalui institusi zakat. Padahal, zakat memiliki elan dahsyat untuk mengurangi jumlah orang miskin.
Lagi-lagi, kita tidak dapat bertumpu banyak pada mereka. Orang-orang miskin harus mengorganisir diri agar dapat menyelesaikan problem mereka. Satu contoh, dengan meningkatkan sumber daya manusianya. Medianya pendidikan, misalnya. Insya’allah, dengan pendidikan, mobilitas sosial mereka juga akan naik. Secara tidak langsung, pendidikan akan menaikkan derajat dan martabat mereka. Di sinilah, mereka harus memulai kerja-kerja besar ini. Insyaallah, dengan cara-cara ini, sepuluh hingga dua puluh lagi, mereka sudah terbebas dari
kungkungan kemiskinan.
Wallahu'alam. [MN Harisuddin]